Sekolah Rakyat Comeback : Solusi Pendidikan Merata di Era Digital
Dosen Akademi Kebidanan Sakinah Kraton Pasuruan
Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Pendidikan
Universitas Negeri Malang
Kalau mendengar istilah sekolah rakyat, banyak orang mungkin langsung teringat suasana Indonesia di masa awal kemerdekaan. Sekolah sederhana dengan papan tulis seadanya, guru yang penuh dedikasi, dan murid-murid yang belajar bukan karena fasilitas, melainkan karena semangat. Sekolah rakyat saat itu lahir dari keyakinan bahwa pendidikan adalah hak semua orang tanpa terkecuali. Kini, setelah lebih dari tujuh dekade, gagasan itu kembali mencuat. Bedanya, tantangan hari ini bukan lagi kolonialisme, tetapi ketidakmerataan akses pendidikan, derasnya arus digitalisasi, dan kebutuhan keterampilan abad 21.
Faktanya, dunia pendidikan kita masih jauh dari merata. Di kota besar, sekolah-sekolah memiliki fasilitas lengkap dan akses teknologi yang memadai, sementara di pelosok masih ada anak-anak yang harus menyeberang sungai atau berjalan berjam-jam hanya untuk bisa belajar. Masalah akses internet pun belum teratasi; ada yang bisa ikut kelas daring setiap hari, ada pula yang kehilangan sinyal begitu hujan turun. Dalam situasi seperti inilah sekolah rakyat bisa kembali memainkan peran penting. Ia bukan untuk menggantikan sekolah formal, melainkan menjadi pelengkap yang memberi ruang belajar alternatif yang murah, fleksibel, dan berbasis komunitas.
Sekolah rakyat abad 21 tentu tidak bisa lagi hanya mengandalkan papan tulis dan kapur. Teknologi harus ikut masuk, meski tidak harus serba canggih. Yang dibutuhkan adalah kreativitas dalam memanfaatkan apa yang tersedia. Radio komunitas, perpustakaan digital sederhana, hingga grup WhatsApp bisa menjadi sarana belajar yang efektif. Kurikulum yang diterapkan pun sebaiknya kontekstual dengan kebutuhan masyarakat. Di desa agraris, misalnya, anak-anak bisa diajarkan literasi pertanian modern, sementara di kota pembelajaran bisa difokuskan pada literasi digital, kewirausahaan, dan keterampilan hidup. Dengan begitu, sekolah rakyat tidak hanya sekadar mengajar, tetapi juga menyiapkan generasi muda menghadapi dunia nyata.
Sebagian orang mungkin menganggap menghidupkan kembali sekolah rakyat hanyalah romantisme masa lalu. Padahal, justru inilah jawaban realistis terhadap masalah pendidikan hari ini. Banyak anak Indonesia masih tercecer dari akses pendidikan yang layak. Bayangkan jika ada sekolah berbasis komunitas, murah, terbuka untuk siapa saja, dengan pengajar yang datang dari orang tua, mahasiswa, atau tokoh lokal yang mau berbagi ilmu. Bukankah itu sejalan dengan semangat gotong royong yang sudah lama menjadi bagian dari jati diri bangsa kita?
Yang paling penting, sekolah rakyat tidak boleh kehilangan ruhnya: kesederhanaan, kemandirian, dan pendidikan sebagai alat pembebasan. Ia tidak boleh terjebak hanya menjadi tempat kursus keterampilan, melainkan juga ruang untuk membangun solidaritas sosial dan membentuk karakter bangsa. Sekolah rakyat abad 21 pada akhirnya bisa menjadi simbol keberanian kita menjaga akar sejarah sambil menatap masa depan. Sederhana tapi visioner, merakyat namun progresif. Jika diwujudkan dengan tepat, sekolah rakyat bisa menjadi salah satu jalan agar pendidikan Indonesia lebih adil, merata, dan tetap relevan di era digital.
Posting Komentar untuk "Sekolah Rakyat Abad 21: Menggagas Pendidikan Alternatif di Era Digital"